E-mail: nurul.huda.macintosh@gmail.com
Pendahuluan
Pendidikan sejatinya bertujuan untuk membangun individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga memiliki moral dan etika yang kuat. Dalam konteks pendidikan tinggi, kampus menjadi tempat pembentukan karakter dan kompetensi mahasiswa agar kelak mampu berkontribusi secara positif kepada masyarakat. Namun, fenomena yang terjadi belakangan ini menunjukkan adanya penyimpangan dari tujuan ideal tersebut, terutama dalam hal moralitas mahasiswa.
Kasus-kasus amoral di kalangan mahasiswa semakin sering mencuat ke permukaan, mulai dari perilaku tidak etis, penyalahgunaan teknologi digital untuk tindakan merugikan, hingga gaya hidup hedonis yang bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan. Bahkan, di sejumlah kampus, kegiatan orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek) yang seharusnya menjadi sarana pengenalan budaya akademik malah diwarnai dengan aktivitas yang tidak mendidik, seperti mengajak mahasiswa baru berjoget dengan gaya yang tidak pantas atau bahkan melibatkan kegiatan yang menjurus pada pelecehan. Hal ini tidak hanya mencederai esensi pendidikan tetapi juga menjadi refleksi lemahnya pembinaan moral di lingkungan kampus.
Santri, sebagai generasi yang dilahirkan dari tradisi pesantren dengan nilai-nilai moralitas, kesederhanaan, dan ketaatan agama, sering menghadapi tantangan besar ketika memasuki lingkungan kampus umum. Lingkungan tersebut kerap kali memuat dinamika budaya dan gaya hidup yang berbeda dengan tradisi pesantren. Fenomena demoralisasi, atau penurunan standar moral, kerap menjadi isu yang mencemaskan karena dapat mengikis identitas santri dalam menghadapi derasnya arus modernisasi dan sekularisme.
Bagi santri yang berasal dari latar belakang pendidikan pesantren dengan nilai-nilai religius yang kuat, kondisi semacam ini menjadi tantangan serius. Mereka dihadapkan pada situasi yang jauh berbeda dengan lingkungan pesantren yang menanamkan moralitas, kesederhanaan, dan kedisiplinan. Tanpa dukungan yang memadai, santri rentan terjebak dalam arus demoralisasi yang kerap terjadi di lingkungan kampus umum.
Fenomena ini mengindikasikan adanya kebutuhan mendesak untuk meneguhkan kembali nilai-nilai moral dalam dunia pendidikan tinggi. Kampus, sebagai institusi pendidikan yang memiliki peran strategis dalam membentuk generasi penerus bangsa, perlu melakukan introspeksi mendalam. Program-program yang mengutamakan pembinaan karakter dan penanaman nilai moral harus diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan. Selain itu, komunitas berbasis agama seperti Nahdlatul Ulama (NU) dapat berperan sebagai mitra strategis dalam menjaga moralitas mahasiswa, termasuk santri, di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi.
Dengan latar belakang ini, artikel ini bertujuan untuk menganalisis fenomena demoralisasi di kalangan mahasiswa, khususnya santri, serta menawarkan solusi yang relevan untuk mengatasi tantangan moral di lingkungan kampus umum. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat posisi pendidikan tinggi sebagai wadah pembentukan generasi bangsa yang tidak hanya unggul dalam intelektual tetapi juga bermoral dan berintegritas.
Asumsi Terkait "Faktor Lingkungan Kehidupan Kampus"
- Pengaruh Budaya Kampus terhadap Moral Mahasiswa
Lingkungan kehidupan kampus memiliki pengaruh signifikan terhadap pembentukan karakter dan moral mahasiswa. Budaya kampus yang kurang mengedepankan nilai-nilai etika cenderung memperbesar peluang demoralisasi, terutama bagi mahasiswa yang tidak memiliki fondasi moral yang kuat sebelumnya. - Kelemahan Sistem Pengawasan dan Pembinaan Mahasiswa
Asumsi kedua adalah lemahnya sistem pengawasan dan pembinaan mahasiswa di kampus umum. Kurangnya program yang mendukung pengembangan karakter, seperti mentoring berbasis agama atau etika, berpotensi memicu perilaku amoral di kalangan mahasiswa. - Minimnya Integrasi Nilai-Nilai Keagamaan dalam Kehidupan Kampus
Lingkungan kampus umum sering kali kurang memberikan ruang bagi nilai-nilai religius untuk berkembang. Hal ini dapat menyulitkan mahasiswa santri yang sebelumnya terbiasa dengan suasana religius di pesantren, sehingga mereka rentan mengalami demoralisasi. - Pengaruh Sosial dan Tekanan Peer Group
Faktor sosial seperti tekanan dari kelompok teman sebaya di lingkungan kampus juga dianggap sebagai pemicu perilaku demoralisasi. Dalam situasi ini, mahasiswa, termasuk santri, sering kali terjebak dalam upaya menyesuaikan diri dengan norma kelompok yang tidak sejalan dengan nilai moral yang diajarkan sebelumnya. - Program Orientasi dan Aktivitas Mahasiswa yang Tidak Mendukung Etika Akademik
Ospek dan kegiatan mahasiswa lainnya yang tidak didesain untuk mendukung pembentukan moralitas mahasiswa cenderung menjadi media yang mempromosikan perilaku tidak etis. Hal ini menciptakan asumsi bahwa lingkungan kampus tidak mendukung pembentukan karakter yang sejalan dengan tujuan pendidikan.
Asumsi-asumsi ini menjadi dasar untuk mengevaluasi sejauh mana lingkungan kehidupan kampus berkontribusi terhadap demoralisasi mahasiswa, khususnya bagi mereka yang sebelumnya memiliki latar belakang religius seperti santri.
Dampak Demoralisasi
Demoralisasi di kalangan santri bukan hanya berdampak pada individu tetapi juga komunitas. Identitas religius mereka menjadi kabur, sehingga kontribusi mereka dalam menjaga moralitas masyarakat kampus menjadi lemah. Sebuah studi oleh Rahman dan Hidayat (2023) menunjukkan bahwa demoralisasi santri dapat berimplikasi pada menurunnya integritas dan konsistensi dalam perilaku mereka sebagai representasi umat Islam.
Upaya Mengatasi
- Membangun Komunitas Keagamaan di Kampus
Santri perlu didukung dengan komunitas yang kuat di kampus untuk memperkuat nilai-nilai yang mereka bawa dari pesantren. Kehadiran organisasi keagamaan seperti UKM Rohani Islam dapat menjadi solusi strategis. - Pembinaan Berkelanjutan
Pesantren asal perlu menjalin hubungan yang erat dengan alumni mereka, memberikan bimbingan spiritual secara rutin, dan memastikan para santri tetap memiliki akses terhadap nasihat dan penguatan agama. - Integrasi Nilai Religius dalam Kurikulum
Kampus umum dapat mengadopsi pendekatan holistik dengan mengintegrasikan mata kuliah berbasis moral dan etika religius. Hal ini memungkinkan mahasiswa, termasuk santri, untuk tetap terhubung dengan nilai-nilai agama mereka. - Peningkatan Literasi Digital
Santri perlu dibekali dengan literasi digital agar mampu menghadapi tantangan dunia maya yang sering kali menjadi tempat penyebaran budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan.
Kesimpulan
Demoralisasi santri di kampus umum adalah tantangan nyata yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk pesantren, kampus, dan masyarakat. Dengan kolaborasi yang baik, nilai-nilai santri dapat tetap terjaga, bahkan menjadi teladan dalam kehidupan kampus yang lebih baik. Santri bukan hanya harus bertahan, tetapi juga memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan yang membawa semangat moralitas dan religiusitas di lingkungan kampus. Semoga artikel singkat ini bermanfaat untuk kita semua. Tetap semangat berkarya, salam ilmiah! (NH)
Referensi:
- Herdiansyah, H. (2021). Pergeseran Nilai Santri dalam Dunia Kampus. Bandung: Alfabeta.
- Rahman, M. A., & Hidayat, R. (2023). "Demoralisasi Mahasiswa Santri di Perguruan Tinggi Umum." Jurnal Pendidikan Islam Modern, 15(2), 45-60.
- Sugiono, S. (2020). Pendekatan Kualitatif dalam Studi Pendidikan. Jakarta: Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar