Oleh:
Nurul Huda, BBA., S.E., M.M
E-mail:
nurul.huda.macintosh@gmail.com
Carok adalah sebuah istilah yang kerap diasosiasikan
dengan Madura, namun sering kali disalahartikan oleh publik, terutama melalui
pemberitaan media yang tidak berimbang. Dalam wacana populer, carok
dianggap identik dengan tindakan kekerasan yang brutal dan tidak terkendali.
Narasi ini tidak hanya merugikan citra masyarakat Madura tetapi juga
menyederhanakan kompleksitas budaya yang melatarbelakanginya. Artikel ini
bertujuan untuk meluruskan kesalahpahaman terkait carok dengan mengupas
akar budaya, konteks historis, dan peran media dalam membentuk opini publik.
Carok:
Tradisi, Kehormatan, dan Makna Budaya
Dalam
tradisi Madura, carok tidak serta-merta merujuk pada tindakan kekerasan,
melainkan merupakan respons terhadap pelanggaran kehormatan yang dianggap
sangat serius. Menurut Wahyudi (2023), carok adalah bentuk terakhir dari
penyelesaian konflik yang terjadi ketika jalan musyawarah atau mediasi gagal
memberikan keadilan. Bagi masyarakat Madura, harga diri (kesombheran)
merupakan nilai yang sangat penting. Pelanggaran terhadap kehormatan ini,
terutama yang melibatkan keluarga, sering kali menjadi pemicu terjadinya carok.
Meski
demikian, penting untuk dicatat bahwa praktik carok tidak mewakili
seluruh dinamika kehidupan masyarakat Madura. Sebaliknya, masyarakat Madura
dikenal memiliki tradisi religius yang kuat, gotong royong, dan nilai harmoni
yang tinggi dalam kehidupan sosial mereka.
Salah
Kaprah dalam Pemberitaan Media
Sayangnya,
media sering kali menggambarkan carok sebagai ciri khas kekerasan
masyarakat Madura. Peliputan yang sensasional cenderung mengabaikan konteks
budaya dan nilai-nilai yang mendasari tindakan tersebut. Media lebih berfokus
pada aspek dramatis dan kekerasan tanpa memberikan ruang untuk analisis yang
lebih mendalam.
Menurut
penelitian oleh Ardiansyah (2023), 70% berita tentang carok di media
nasional hanya menyoroti aspek kriminalnya, tanpa melibatkan ahli budaya atau
masyarakat lokal untuk memberikan perspektif yang seimbang. Akibatnya,
masyarakat luar memiliki pandangan yang terdistorsi tentang Madura, yang
dianggap sebagai wilayah yang penuh konflik dan kekerasan.
Peran
Edukasi dan Narasi Positif
Meluruskan
narasi tentang carok memerlukan pendekatan edukatif yang melibatkan
berbagai pihak, termasuk media, akademisi, dan komunitas lokal. Langkah pertama
adalah memperkenalkan kepada publik tentang nilai-nilai luhur masyarakat Madura
yang lebih luas, seperti religiusitas, solidaritas, dan semangat gotong royong.
Kedua,
media harus mengadopsi pendekatan peliputan yang lebih berimbang dan mendalam.
Liputan yang hanya menyoroti aspek kekerasan harus diimbangi dengan pemberitaan
yang mengedukasi masyarakat tentang budaya Madura secara keseluruhan. Menurut
Hidayat (2023), pelibatan ahli budaya dalam peliputan kasus carok dapat
membantu menjelaskan latar belakang budaya dan mencegah stigmatisasi.
Ketiga,
pemerintah daerah dan tokoh masyarakat Madura harus aktif dalam mengubah narasi
publik. Kampanye budaya, festival, dan dialog antarbudaya dapat menjadi sarana
untuk memperkenalkan sisi positif dari tradisi Madura yang sering kali luput
dari perhatian publik.
Upaya
Pelurusan Stigma Melalui Teknologi dan Inovasi
Dalam
era digital, teknologi dapat menjadi alat yang ampuh untuk meluruskan stigma
terkait carok. Konten kreatif seperti video dokumenter, artikel ilmiah
populer, dan kampanye media sosial dapat digunakan untuk memperkenalkan budaya
Madura kepada generasi muda. Menurut Nasution (2023), platform digital seperti
YouTube dan Instagram telah membantu masyarakat lokal untuk menceritakan kisah
mereka sendiri, tanpa melalui filter media arus utama yang sering kali bias.
Selain
itu, pendidikan formal juga memiliki peran penting dalam menanamkan pemahaman
yang benar tentang tradisi Madura. Dengan memasukkan kajian budaya lokal ke
dalam kurikulum sekolah, generasi muda dapat belajar untuk menghormati dan
memahami keragaman budaya yang ada di Indonesia.
Kesimpulan
Kesalahpahaman
tentang carok sebagai simbol kekerasan Madura tidak hanya merugikan
citra masyarakat Madura tetapi juga mengabaikan nilai-nilai luhur yang
sebenarnya menjadi inti dari budaya lokal. Dengan pemberitaan media yang lebih
berimbang, pendidikan yang tepat, dan penggunaan teknologi untuk kampanye
narasi positif, pandangan publik tentang carok dapat diluruskan. Pada
akhirnya, carok bukanlah sekadar tindakan kekerasan, melainkan cerminan
kompleksitas budaya yang memerlukan pemahaman mendalam, bukan penghakiman
dangkal. Demikian artikel singkat ini saya tulis, semoga bermanfatat. Tetap
semangat salam ilmiah!. (NH)
Referensi:
- Ardiansyah, R. (2023). "Representasi
Media terhadap Tradisi Carok di Madura." Jurnal Komunikasi
dan Budaya Nusantara, 14(2), 45-60.
- Hidayat, M. (2023). Budaya dan Konflik:
Studi tentang Carok di Madura. Surabaya: Airlangga University Press.
- Nasution, S. (2023). "Penggunaan Media
Digital untuk Meluruskan Narasi Budaya." Jurnal Teknologi dan
Kebudayaan, 9(1), 88-104.
- Wahyudi, D. (2023). Tradisi Madura dalam
Perspektif Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar