Oleh: Nurul Huda, BBA., S.E., M.M
E-mail: nurul.huda.macintosh@gmail.com
Di sebuah desa
kecil yang tenang, dikelilingi sawah hijau dan pepohonan rindang, hiduplah
seorang petani sederhana bernama Pak Sanawa. Dengan pakaian lusuh dan topi
jerami setia yang melindunginya dari terik matahari, ia bekerja keras setiap
hari di sepetak sawah miliknya. Hasil panennya cukup untuk sekadar bertahan
hidup, tetapi jauh di lubuk hatinya, ia menyimpan mimpi besar: melihat anak
semata wayangnya, yang diberi nama Kuwung-kuwung, meraih pendidikan tinggi dan
hidup lebih baik darinya.
Setiap pagi,
setelah fajar menyingsing, Pak Sanawa tak hanya sibuk dengan cangkul dan
bajaknya. Ia juga menjadi sosok ayah yang penuh dedikasi, mengantar Kuwung-kuwung
ke sekolah dengan sepeda tuanya yang berderit di sepanjang jalan tanah. Sambil
mengayuh sepeda, ia sering berkata dengan suara yang penuh keyakinan, "Nak, ilmu
itu seperti benih. Jika kau tanam dan rawat dengan cinta, kelak akan tumbuh
menjadi pohon yang memberikan buah melimpah."
Kata-kata sederhana itu tertanam kuat dalam hati Kuwung-kuwung. Ia tahu, di balik peluh yang menetes dan tubuh lelah ayahnya, ada harapan yang besar. Setiap malam, ketika Kuwung-kuwung belajar dengan cahaya lampu minyak, ia sering mendengar suara Pak Sanawa bekerja hingga larut malam, menenun tikar tambahan untuk dijual di pasar. Kuwung-kuwung tumbuh menjadi anak yang rajin dan gigih. Ia tidak hanya belajar demi dirinya sendiri, tetapi juga demi membalas perjuangan ayahnya. Hasilnya, ia selalu menjadi juara kelas, membuat gurunya terkesan dan teman-temannya bangga.
Waktu berjalan
cepat, Kuwung-kuwung akhirnya lulus dengan nilai terbaik di sekolah dasar, lalu
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Beasiswa demi beasiswa ia dapatkan,
hingga ia diterima di universitas ternama. Pak Sanawa, meski hanya seorang
petani, berdiri dengan bangga di antara orang tua lainnya saat menyaksikan Kuwung-kuwung
diwisuda sebagai seorang sarjana di bidang pertanian.
Kisah Pak Sanawa adalah bukti nyata bahwa cinta, kerja keras, dan doa mampu mengubah kehidupan. Namun, di sisi lain kota besar yang gemerlap, ada kisah yang berbeda. Dr. Raja Kam-kam, seorang profesor terkenal dengan rumah mewah dan fasilitas lengkap, memiliki seorang anak bernama Raja Sayya. Segala hal yang diimpikan banyak orang telah ia miliki: uang, kehormatan, dan jaringan luas. Ia berharap Raja Sayya dapat meneruskan jejaknya sebagai akademisi ternama.
Namun, Raja
Sayya tumbuh tanpa semangat yang sama. Dr. Raja Kam-kam terlalu sibuk dengan
pekerjaannya, jarang pulang tepat waktu, dan lebih sering menggantikan
kehadirannya dengan hadiah-hadiah mahal. Baginya, uang dan fasilitas sudah
cukup untuk menjamin masa depan anaknya. Tapi Raja Sayya justru merasa hampa.
Ia tidak melihat sosok ayah yang menjadi teladan, hanya seorang pria sibuk yang
menganggap pendidikan adalah kewajiban, bukan perjalanan penuh makna.
Raja Sayya lebih senang menghabiskan waktunya bersenang-senang dengan teman-temannya daripada menyentuh buku. Gelar profesor ayahnya tidak menjadi inspirasi, melainkan beban. Di malam-malam sunyi, Dr. Raja Kam-kam sering termenung di ruang kerjanya yang penuh buku tebal. Dalam hati ia bertanya, "Mengapa dengan segala yang kupunya, aku tak mampu menanamkan semangat seperti yang dimiliki Kuwung-kuwung, anak seorang petani?"
Kisah ini
adalah pengingat bahwa pendidikan sejati tidak ditentukan oleh fasilitas atau
kekayaan, melainkan oleh keteladanan, kasih sayang, dan nilai-nilai yang ditanamkan
sejak dini. Pak Sanawa, meski sederhana, mampu mengajarkan arti mimpi dan
perjuangan. Sementara Dr. Raja Kam-kam, dengan segala kelebihannya, gagal
menyalakan api semangat dalam diri anaknya.
Hidup
mengajarkan kita bahwa menjadi teladan adalah hadiah terbesar yang bisa
diberikan seorang orang tua. Seperti benih yang dirawat dengan cinta,
pendidikan terbaik tumbuh dari hati, bukan dari harta. Semoga cerita singkat
ini menginspirasi. Tetap semangat berkarya, salam ilmiah! (NH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar