Sumber : Mr. Slamet, M.Pd
Polemik penerapan sistem zonasi/jarak dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 berbuntut panjang. Protes wali murid di berbagai kota menjadi pangkal dari persoalan kekinian tersebut.
Permen No. 14/2018 yang awalnya bertujuan untuk pemerataan akses dan mutu pendidikan ternyata tidak sesuai kenyataan. Yang terjadi malah kisruh dan demo para wali siswa terjadi di mana-mana. Paling kentara di Surabaya. Ujungnya, permen dengan semangat kekinian itu ditangguhkan sementara penerapannya.
Polemik ini bukan hanya semata soal zonasi yang hanya mempertimbangkan akses dan jarak tinggal ke sekolah. Lebih dari itu, ini persoalan rasa kepercayaan diri siswa/i yang memiliki Indeks Prestasi Komulatif (IPK) tinggi. Karena terhalang oleh jarak, siswa yang memiliki keahlian terdepak dari perebutan "kunci sekolah".
Secara pribadi, saya mengapresiasi semangat permen tersebut. Tapi, pencetus kebijakan semestinya melakukan social, place mapping lokasi sekolah. Terutama, sekolah yang berada di desa. Sangat kentara penerapan itu terkesan dipaksakan, mengingat sekolah negeri di di daerah kecil bertumpu ditengah kota.
Dengan gambaran diatas, pengetatan gerbang (tes masuk) sebagaimana catatan saudara Nurul Huda, S.E., M.M si Dosen Prodi Ekonomi Syariah STAIM Sumenep terbantahkan dengan sendirinya. Pinjam bahasanya Ariginanjar Sasmita, ini bukan hanya tes-tes Intelektual Question (IQ). Tapi, mari perlebar persoalan ini kepada tes Emotional Question (EQ), utamanya Spritual (QS). Pertanyaanya apa motif dibalik penerapan permen tersebut? Siapa yang berkepentingan?
Jika motif penerapan permen didasarkan pada pembiaran sekolah yang melanggar batas-batas jarak pendirian sekolah, saya kira maklum. Jelas permendikbud mengenai jarak itu, melarang sekolah setingkat SD berada dalam jarak tiga kilometer. Sedangkan SMP berjarak tujuh kilometer.
Tapi, kenapa fakta dilapangan larangan dalam permen dilanggar. Banyak desa-desa di Madura tidak memakai larangan batas-batas tersebut. Dampaknya, "rebutan siswa" tak terelakkan. Lembaga yang kuat secara finansial lebih mendominasi jumlah siswa. Nah, kalau hadirnya permen itu berdasarkan pemerataan. Kenapa larangan batas ini dibiarkan? Aneh.
Jamak kita ketahui, ganti menteri ganti kebijakan, bahasa ini seperti menjadi adagium yang berimage jelek. Bagi saya, permen itu dikeluarkan imbas dari fenomena sosial dan kemasyarakatan kita dewasa ini. Seperti yang sudah digambarkan diatas. Tinggal kita mau serius apa tidak? Itu saja.
Terlepas dari permen yang tumpang tindih, kita semua harus sadar, semua punya tanggungjawab moral. Itupun kalau kita mau menyadarinya. Terpenting, pendidikan harus diletakkan diatas segala-galanya, kita semua pendidik. Sebagaimana Dwi Nugroho Hidayanto mengatakan, Pendidik adalah orang yang memikul pertanggungjawaban untuk mendidik. Kategori pendidik itu adalah orang dewasa, orang tua, guru, pemimpin masyarakat, dan pemimpin agama. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
DAFTAR ARTIKEL
BELAJAR, BERILMU, BERAMAL & BERIBADAH "Integritasmu Adalah Masa Depanmu" Oleh: Nurul Huda, BBA., S.E., M.M E-mail : nurul.hud...
-
BELAJAR, BERILMU, BERAMAL & BERIBADAH "Integritasmu Adalah Masa Depanmu" Oleh: Nurul Huda, BBA., S.E., M.M E-mail : nurul.hud...
-
Jenis Pamor Keris – Berbicara mengenai budaya keris tanpa menyinggung soal tuahnya, bagaikan makan sup tanpa garam. Hal itu memang benar ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar