Bismillah for everything, Selamat Datang di My Blog (Belajar, Berilmu, Beramal dan Beribadah. Semoga bermanfaat, Salam Ilmiah...

Selasa, 25 Juni 2019

Konflik Kepentingan PPDB (2)

Sumber : Mr. Slamet, M.Pd


Polemik penerapan sistem zonasi/jarak dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 berbuntut panjang. Protes wali murid di berbagai kota menjadi pangkal dari persoalan kekinian tersebut.  

Permen No. 14/2018 yang awalnya bertujuan untuk pemerataan akses dan mutu pendidikan ternyata tidak sesuai kenyataan. Yang terjadi malah kisruh dan demo para wali siswa terjadi di mana-mana. Paling kentara di Surabaya. Ujungnya, permen dengan semangat kekinian itu ditangguhkan sementara penerapannya. 

Polemik ini bukan hanya semata soal zonasi yang hanya mempertimbangkan akses dan jarak tinggal ke sekolah. Lebih dari itu, ini persoalan rasa kepercayaan diri siswa/i yang memiliki Indeks Prestasi Komulatif (IPK) tinggi. Karena terhalang oleh jarak, siswa yang memiliki keahlian terdepak dari perebutan "kunci sekolah". 

Secara pribadi, saya mengapresiasi semangat permen tersebut. Tapi, pencetus kebijakan semestinya melakukan social, place mapping lokasi sekolah. Terutama, sekolah yang berada di desa. Sangat kentara penerapan itu terkesan dipaksakan, mengingat sekolah negeri di di daerah kecil bertumpu ditengah kota. 

Dengan gambaran diatas, pengetatan gerbang (tes masuk) sebagaimana catatan saudara Nurul Huda, S.E., M.M si Dosen Prodi Ekonomi Syariah STAIM Sumenep terbantahkan dengan sendirinya. Pinjam bahasanya Ariginanjar Sasmita, ini bukan hanya tes-tes Intelektual Question (IQ). Tapi, mari perlebar persoalan ini kepada tes Emotional Question (EQ), utamanya Spritual (QS).  Pertanyaanya apa motif dibalik penerapan permen tersebut? Siapa yang berkepentingan? 

Jika motif penerapan permen didasarkan pada pembiaran sekolah yang melanggar batas-batas jarak pendirian sekolah, saya kira maklum. Jelas permendikbud mengenai jarak itu,  melarang sekolah setingkat SD berada dalam jarak tiga kilometer. Sedangkan SMP berjarak tujuh kilometer. 

Tapi, kenapa fakta dilapangan larangan dalam permen dilanggar. Banyak desa-desa di Madura tidak memakai larangan batas-batas tersebut. Dampaknya, "rebutan siswa" tak terelakkan. Lembaga yang kuat secara finansial lebih mendominasi jumlah siswa. Nah, kalau hadirnya permen itu berdasarkan pemerataan. Kenapa larangan batas ini dibiarkan?  Aneh. 

Jamak kita ketahui, ganti menteri ganti kebijakan, bahasa ini seperti menjadi adagium yang berimage jelek. Bagi saya, permen itu dikeluarkan imbas dari fenomena sosial dan kemasyarakatan kita dewasa ini. Seperti yang sudah digambarkan diatas. Tinggal kita mau serius apa tidak?  Itu saja. 

Terlepas dari permen yang tumpang tindih, kita semua harus sadar, semua punya tanggungjawab moral. Itupun kalau kita mau menyadarinya. Terpenting, pendidikan harus diletakkan diatas segala-galanya, kita semua pendidik. Sebagaimana Dwi Nugroho Hidayanto mengatakan, Pendidik adalah orang yang memikul pertanggungjawaban untuk mendidik. Kategori pendidik itu adalah orang dewasa, orang tua, guru, pemimpin masyarakat, dan pemimpin agama. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Kamis, 20 Juni 2019

Konflik Kepentingan PPDB (1)

Gerbang Sekolah
Musim penerimaan siswa baru seperti ini memang menjadi musim yang panas di sekolah.Setiap sekolah selalu berusaha menaikkan citranya. Sekolah yang punya nama besar akan dengan bangga menyampaikan bahwa hanya sedikit siswa yang mereka terima dibandingkan dengan ribuah pendaftar seluruhnya. Sedangkan sekolah-sekolah pinggiran hanya pantas berebut "sisa" atau"muntahan" dari sekolah-sekolah di kota. Pertanyaannya, masih layakkah sistem penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah yang ada sekarang ini?
Sejatinya, Sekolah memang selalu berlomba untuk meningkatkan standarnya. Salah satu cara pintas yang dianggap oleh beberapa sekolah untuk mencapai hal tersebut adalah dengan memperketat gerbang (tes masuk sekolah) mereka dengan menambah banyak, dan bobot soal/persyaratan yang digunakan. Mereka menganggap bahwa jika input yang masuk di sekolah (dengan berbagai macam penyaringan) adalah input yang bagus, maka output yang di harapkan bisa terealisasi dengan mudah. dan semakin kacau output yang didapatkan, output sekolah ke depan juga tidak akan bisa diharapkan. Benarkah demikian?


Sekarang pikirkan. Jika kita menganggap bahwa guru adalah orang tua, maka harusnya sekolah  adalah rumah, dan siswa-siswa tentulah adalah anak-anaknya. Lantas orang tua macam apa yang memilih anak-anaknya, mana yang boleh masuk dan mana yang tidak boleh masuk dalam rumah. Orang tua macam apa yang memasang jebakan dan rintangan pada gerbang rumahnya agar hanya anak yang pantas yang bisa masuk. Lebih-lebih gerbang (tes masuk) yang digunakan untuk memfilter sering kali hanya berdasar pada tiga mata pelajaran dewa (bahasa, matematika, ipa) yang jelas-jelas tidak merepresentasikan kondisi anak seutuhnya.

Sudah jelas idealnya sekolah bukanlah sebuah perusahaan yang perlu menyaring/menyeleksi karyawannya demi profit yang akan diperolehnya. Sekolah juga bukanlah tempat bekerja bagi para siswa yang harus dihitung untung rugi dalam penerimaan mereka di sekolah. Sekolah bukan lembaga yang mengutamakan profit sehingga harus menjaring siswa yang mampu memberikan "omset" lebih bagi sekolah. Dengan demikian sungguh tidak pantas menyeleksi siswa untuk meningkatkan standar sekolah yang sering kali ujung-ujungnya sebagai alat pencitraan sekolah semata.

Tes IQ biasanya menjadi tes yang paling sering dijadikan "hades gates"(gerbang neraka) di beberapa sekolah. Tujuannya jelas sebagai penyaring terkuat agar jangan sampai anak "bodoh" yang tidak layak berhasil masuk danditerima di sekolah. Tes IQ ini pada praktiknya kebanyakan hanya melihat logical intelegence dan language intelegence dalam diri seorang siswa. Apa benar hanya dua kecerdasan tersebut, kecerdasan logika dan bahasa yang berperan dalam diri seorang siswa?

Saya masih ingat bagaimana Cristiano Ronaldo menjawab tantangan dari gurunya. Seorang guru pernah bertanya meremehkan pada Ronaldo kecil apa yang akan didapatkannya dari sepak bola, ia menambahkan sepak bola tak akan bisa menghidupinya. Selanjutnya, kita tahu bahwa gurunya salah. Ronaldo bukanlah penyair termasyur atau fisikawan hebat seperti Einstein, tapi ia adalah jenius sepak bola di era ini. Capaian-capaiannya dalam sepak bola tidak akan mudah dilampau oleh orang lainya bahkan hingga beberapa dekade ke depan.

Tes IQ yang ada sekarang ini sudah tidak digunakan lagi di beberapa negara maju. Howard Gardner, guru besar bidang psikologi di Harvard University (yang terkenal dengan teori multiple intelligence) menyatakan bahwa setidaknya ada sembilan jenis intelegensi dalam diri manusia. Inteligensi tersebut tidak dapat dilihat dan diukur dari nilai-nilai yang didapat seseorang dari beberapa tes semata. Inteligensi menurutnya, hanya bisa dilihat ketika orang tersebut menghadapi masalah yang membutuhkan pemecahan, itupun bisa berubah seiring waktu dan bukanlah suatu harga mati.

Lagipula,bukankah sekolah adalah tempat belajar, dan jika memang demikian, bukankah seharusnya mereka yang datang ke sekolah adalah mereka yang masih "bodoh" (belum tau banyak hal) untuk kemudian belajar dan menguasaibeberapa hal (ilmu) yang mereka inginkan. Bukankan akan semakin membanggakan jika sekolah dapat memoles "batu-bara" menjadi "emas".

Ada baiknya jika sekolah mau berbenah diri kearah yang benar, sekolah mulai mempertimbangkan untuk merombak sistem dan proses penerimaan siswa barunya. Daripada membuat tes masuk yang tidak bermanfaat dan cenderung mendiskriminasi anak antara mereka yang layak dengan mereka yang tidak, akan lebih bermanfaat jika sekolah memberikan tes bakat atau potensi siswa.

Dengan demikian nantinya sekolah diharapkan dapat menampung bakat dan potensi semua siswa, bukan malah memendam dan menggantikannya dengan doktrin-doktrin pelajaran dewa. Ada banyak ilmu yang masih layak dipelajari dari pada mata pelajaran dewa yang selama ini menjadi santapan wajib dengan porsi jumbo bagisemua siswa.

Pada akhirnya, gerbang masuk sekolah bukan lah gerbang penuh duri dan kawat tajamyang hanya mengijinkan mereka yang kuat yang layak masuk, melainkan gerbang dengan sembilan pintu yang mampu menarik anak untuk masuk sesuai kemauan dan kemampuannya. Mulailah mencoba untuk meniru selection hat (topi seleksi) difilm Harry Potter.

Sebagai penutup saya ingin mengutip perkataan orang jenius tentang kejeniusan itu sendiri, Einstein pernah berkata "Everybody is a Genius. But if you judge a fish by its ability to climb a Tree, It will live its whole life believing that it is stupid".

Daftar Artikel

Belajar, Berilmu, Beramal & Beribadah E-mail : nurul.huda.macintosh@gmail.com Untuk informasi lebih lanjut seputar berbagi ilmu penge...