E-mail:
nurul.huda.macintosh@gmail.com
Kabupaten
Sumenep, sebuah wilayah dengan keanekaragaman budaya dan agama yang kaya, kini
menjadi sorotan dalam dunia politik lokal. Pilkada yang kerap dianggap sebagai
momentum demokrasi bukan hanya menjadi arena perebutan kekuasaan, tetapi juga
sebagai ajang untuk menguji kualitas moral dan integritas masyarakat serta
pemimpinnya. Dalam konteks ini, Sumenep telah menunjukkan bagaimana pejuang
moral dan pendidikan politik berperan aktif dalam menciptakan perubahan
positif.
Demokrasi
dan Moral: Dua Hal yang Tidak Terpisahkan
Demokrasi
tidak hanya mengacu pada mekanisme formal seperti pemilu, tetapi juga
menyangkut prinsip-prinsip moral seperti kejujuran, keadilan, dan transparansi.
Dalam Pilkada Sumenep, isu moralitas menjadi perhatian utama, terutama dalam menghadapi
tantangan seperti politik uang dan praktik manipulatif lainnya.
Menurut
Rahman (2023), salah satu aspek yang membuat Pilkada di Sumenep menarik adalah
keterlibatan aktif tokoh-tokoh agama dan masyarakat adat yang memberikan
panduan moral kepada masyarakat. Peran pesantren sebagai institusi pendidikan
moral menjadi pilar utama dalam membentuk karakter pemilih dan calon pemimpin.
Peran
Pesantren dalam Pendidikan Politik
Pesantren
di Sumenep bukan hanya menjadi tempat pembelajaran agama, tetapi juga menjadi
pusat pendidikan politik yang berbasis nilai-nilai keislaman. Kiai dan ulama
sering kali memberikan ceramah yang berisi pesan moral tentang pentingnya
memilih pemimpin yang berintegritas.
Sebagai
contoh, program Ngaji Politik yang dilakukan di beberapa pesantren di
Sumenep telah membantu masyarakat memahami pentingnya menjaga integritas dalam
proses demokrasi. Program ini juga menekankan bahaya politik uang yang dapat
merusak tatanan sosial dan moral masyarakat (Suryadi, 2024).
Tantangan
Moral dalam Pilkada
Meski
demikian, tantangan moral dalam Pilkada tetap ada. Politik uang, kampanye
hitam, dan ujaran kebencian menjadi ancaman yang dapat mengikis nilai-nilai
moral masyarakat. Media sosial, yang seharusnya menjadi alat komunikasi yang
positif, sering disalahgunakan untuk menyebarkan hoaks dan memecah belah
masyarakat.
Menurut
data dari BPS (2023), sekitar 65% masyarakat Sumenep memiliki akses ke media
sosial, namun kurang dari separuhnya memiliki literasi digital yang memadai.
Hal ini menunjukkan perlunya pendidikan politik yang lebih inklusif, khususnya
dalam menangkal dampak negatif teknologi terhadap moralitas masyarakat.
Kebangkitan
Pejuang Moral di Pilkada
Pilkada
bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang ujian bagi
nilai-nilai moral dalam demokrasi. Di tengah berbagai tantangan seperti politik
uang, kampanye hitam, dan manipulasi, lahirlah para pejuang moral yang menjadi
penggerak perubahan. Mereka adalah individu dan komunitas yang berdiri teguh
melawan segala bentuk kecurangan, mengedukasi masyarakat, dan menginspirasi
gerakan untuk memilih berdasarkan hati nurani dan integritas.
Kebangkitan
pejuang moral ini mengingatkan kita bahwa demokrasi sejati tidak lahir dari
transaksi, tetapi dari kepercayaan dan kejujuran. Mereka hadir bukan untuk
mencari keuntungan, tetapi untuk menjaga nilai-nilai kebaikan yang menjadi
fondasi bangsa. Dengan semangat perjuangan yang bersandar pada keadilan dan
kejujuran, mereka berani melawan arus, menolak tawaran materi, dan fokus pada
mencerdaskan masyarakat tentang pentingnya memilih pemimpin yang berkompeten
dan berintegritas. Kebangkitan ini menunjukkan bahwa demokrasi yang bersih
masih bisa diwujudkan, asalkan ada keberanian untuk memihak pada kebenaran. Maka,
mari kita dukung para pejuang moral ini. Jadikan mereka inspirasi untuk
bersama-sama membangun masa depan bangsa yang lebih adil dan bermartabat.
Karena Pilkada yang bermoral adalah langkah awal menuju pemerintahan yang
benar-benar melayani rakyat.
Pendidikan
Politik yang Berkelanjutan
Pendidikan
politik di Sumenep tidak hanya dilakukan pada saat Pilkada, tetapi menjadi
bagian dari proses yang berkelanjutan. Pesantren, sekolah, dan organisasi
masyarakat berkolaborasi untuk menciptakan pemilih yang cerdas dan bertanggung
jawab.
Program
seperti Sekolah Demokrasi Sumenep telah melibatkan pemuda dalam diskusi
dan pelatihan tentang prinsip-prinsip demokrasi dan pentingnya menjaga
moralitas dalam politik. Program ini terbukti efektif dalam meningkatkan
partisipasi politik yang bermutu di kalangan generasi muda (Prasetyo, 2023).
Kesimpulan
Pilkada
Sumenep adalah cerminan bagaimana demokrasi dapat dijalankan dengan
mengedepankan nilai-nilai moral. Peran tokoh agama, pesantren, dan masyarakat
adat menjadi fondasi dalam membangun pendidikan politik yang berkualitas.
Tantangan seperti politik uang dan hoaks memang ada, tetapi dengan kebangkitan
pejuang moral, Sumenep mampu memberikan contoh nyata tentang bagaimana
demokrasi dapat menjadi alat perubahan yang positif.
Melalui
sinergi antara moralitas dan pendidikan politik, Pilkada Sumenep tidak hanya
menjadi ajang pemilihan pemimpin, tetapi juga sebagai momentum untuk memperkuat
karakter dan integritas masyarakat. Semoga artikel singkat ini bermanfaat untuk
kita semua tetap semangat dan salam ilmiah! (NH)
Referensi:
- Rahman, A. (2023). Pendidikan Politik
Berbasis Agama: Studi Kasus Pesantren di Sumenep. Surabaya: Pustaka
Ilmu.
- Suryadi, R. (2024). "Membangun Literasi
Politik dalam Pesantren." Jurnal Pendidikan Politik, 18(1),
45-58.
- BPS Kabupaten Sumenep. (2023). Laporan
Statistik Pemilu dan Partisipasi Masyarakat. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
- Hasanah, U. (2024). Tradisi Lokal sebagai
Media Pendidikan Politik. Yogyakarta: Media Nusantara.
- Prasetyo, D. (2023). "Sekolah Demokrasi
dan Peranannya dalam Meningkatkan Partisipasi Politik Pemuda." Jurnal
Demokrasi dan Masyarakat, 12(3), 78-92.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar