Revolusi besar dalam dunia ilmu pengetahuan khususnya di benua Eropa Barat sejak abad ke-16 M, telah menyebabkan menurunnya pamor dan kekuasaan institusi gereja (agama Kristen) di benua tersebut turun secara drastis karena kepercayaan/dogma yang dipegang dan diajarkan oleh tokoh-tokoh gereja pada abad tersebut dianggap bertentangan dengan fakta-fakta ilmiah yang dihasilkan oleh eksperimen ilmu pengetahuan. Kondisi itu telah menyebabkan suatu proses sekularisasi atau paham yang memisahkan agama dari hidup dan kehidupan manusia khususnya di dunia Eropa Barat dalam semua bidang, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan.
Hal-hal yang berbau agama yang telah menjadi kebutuhan dasar manusia ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial manusia namun nilai-nilai dan norma-norma spritualitas tersebut secara drastis dikeluarkan dari struktur pemikiran para ilmuwan saat itu. Maka dari kondisi tersebut, kemudian lahirlah ilmu pengetahuan yang bersifat positivistik atau aliran berpikir yang hanya mengakui kebenaran rasional, empirik, indrawi, objektif dimana aliran tersebut hanya menjawab pertanyaan ”What is?”, yang hanya menjelaskan fakta-fakta ilmiah dilapangan secara apa adanya (empirik). Pertanyaan normatif menurut norma atau kaidah ”What should?”, atau ”What best?” melakukan yang terbaik atau apa yang seharusnya dilakukan, dikesampingkan. Jawaban untuk pertanyaan normatif menurut norma atau kaidah justru diserahkan kepada setiap sesorang/individu sesuai selera pribadinya masing-masing.
Karena manusia dianggap sebagai titik sentral untuk menentukan perubahan terhadap jalan hidupnya. Inilah yang kemudian menjadi semangat renaissance atau sebuah gerakan budaya yang sangat mempengaruhi kehidupan intelektual Eropa Barat pada periode modern awal. Sejak abad ke-16 gerakan tersebut telah membebaskan dirinya dari belenggu dan kungkungan agama. Lahirnya produk pemikiran dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan pun mengalami nasib yang sama. Ilmu agama menjadi tersekularisasi dan dibebaskan dari nilai-nilai (values). Dari cara pandang inilah sekularisasi dan kebebasan ilmu pengetahuan modern dibangun. Termasuk di dalamnya yang berhubungan langsung dengan ekonomi konvensional, politik, antropologi dan sosiologi serta ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Oleh karena itu ilmu pengetahuan yang bersentuhan langsung dengan ekonomi konvensional telah mengesampingkan aspek normatif, tentunya tidak akan menjadi pilihan berpikir bagi seorang ekonom Muslim karena ilmuwan non Muslim sendiripun sebenarnya telah banyak mengkritiknya.
Dalam pandangan Islam, ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Hal ini disebabkan paradigma ilmu dalam Islam itu sendiri menegaskan bahwa semua sumber ilmu pengetahuan adalah dari Allah SWT sehingga ilmu yang diperoleh atau yang didapat manusia dengan cara/metodologi apa pun yang digunakan atau yang diaplikasikan pada akhirnya harus mencari keridhaan-Nya. Maka secara ilmiah ilmu ekonomi pun tidak terlepas dari landasan dasarnya, yaitu harus bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. Ilmu ekonomi merupakan nila-nilai warisan peradaban manusia yang bisa diibaratkan sebagai pondasi bangunan bertingkat karena ilmu ekonomi sendirilah yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Setiap bangsa-bangsa di dunia ini telah memberikan kontribusi positif pada zamannya masing-masing dalam mendirikan bangunan tersebut. Karena itu, dalam upaya mengembangkan pemikiran ekonomi Islam secara utuh, para ulama tidak menolak pemikiran para filosof non Muslim asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Para pemikir ekonomi Islam dalam apilikasinya tetap menggunakan dan tidak lepas dengan sumber-sumber dalil naqli dan aqli, mereka mengembangkan ekonomi Islam secara utuh yang pengaruhnya terhadap masyarakat Eropa masih terlihat jelas hingga saat ini. Dan pada tataran praktis, aplikasinya dapat kita lihat bahwa ilmu ekonomi Islam yang digagas oleh para ulama Muslim sebagaimana telah disebutkan di atas tetap terbuka dan juga menerima teori-teori dari luar Islam yang bersifat umum, selagi teori-teori tersebut dianggap tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Untuk menyikapi sistem ekonomi global atau bisa dibilang juga sebagai sistem ekonomi masa depan ada dua pendekatan yang memungkinkan bagi umat Islam menyikapi sistem ekonomi yang sedang berkembang saat ini. Pendekatan yang dimaksud diatas adalah :
- Pendekatan dengan memadukan (integrasi); selain menolak dasar-dasar yang tidak sesuai dengan prinsip, nilai dan kaidah hukum ekonomi Islam, juga mengambil kebaikan-kebaikan yang positif yang terdapat dalam sistem itu. Apabila dalam sistem ekonomi konvensional diibaratkan sebagai rumah tinggal yang sudah jadi dan siap ditempati maka sebelum ditempati boleh jadi perlu perbaikan dan modifikasi begitu juga isi dan perlengkapan harus disesuaikan, bahkan bila perlu diganti dengan yang lebih baru jika dilihat sudah tidak sesuai lagi, barulah kemudian bisa ditempati. Dengan cara demikian, maka bisa dipastikan kehidupan dalam rumah itu paling tidak akan memberikan aura positif berupa ketenteraman, keharmonisan, kenyamanan, bahkan keselamatan lahir dan batin bagi penghuninya. Gambaran seperti inilah kira-kira dalam membangun sistem ekonomi Islam melalui pendekatan integrasi.
- Cara yang kedua ini ditempuh dalam rangka proses Islamisasi ekonomi, yaitu; dengan pendekatan istimewa dengan menambah nilai (value addition) baik secara konseptual (epistemologi) maupun dalam segi praktiknya, tentu saja dengan jaminan bahwa sistem ekonomi Islam dapat dipastikan memberikan sumbangsih atau peran positif dengan sesuatu yang baru, yang lebih baik, lebih fresh dan lebih bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Dalam pendekatan ini, tentu saja yang harus dilakukan adalah dengan memasukkan nilai-nilai Islam yang tidak terdapat dalam sistem ekonomi konvensional, seperti; nilai Ilahiyah, keseimbangan, nilai keadilan dan nilai kemaslahatan. Nilai-nilai islami ini semuanya secara prinsip tidak ditemukan dalam ekonomi klasik-konvensional yang sekularistik karena prinsip dasarnya adalah lebih banyak menekankan pada terciptanya hubungan yang harmonis, dalam kegiatan ekonomi, yang menempatkan manusia sebagai titik sentral utama namun bukan sebagai objek yang dapat dengan mudah dieksploitasi, melainkan tetap menempatkan manusia dalam kerangka nilai insaniyah, sebagai mahluk yang sepurna dan bermartabat. Sebagai contoh, dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah dan musyarakah yang biasa kita kenal dengan istilah ‘bagi hasil’ (loss and profit sharing principle). Dan, inilah kemudian yang ditegaskan dalam al-Qur’an, la tazhlimun wala tuzhlamun (tidak menganiaya dan tidak pula teraniaya). Apabila dalam keadaan untung dan rugi harus dinikmati secara bersama-sama, tidak boleh merasakan kesenangan sendiri di atas penderitaan orang lain. Demikian artikel singkat ini saya tulis, semoga menginspirasi. Aamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar